Category Archives: Theory&Meta-theory

Paradoks Hubungan Indonesia-Belanda (Analisis Poskolonialisme)

©Dina Y. Sulaeman

Katarina Soemarwoto, penulis Indonesia yang bermukim di Leiden, menulis di Jakarta Post tentang sebuah seminar di Utrecht, Belanda. Dalam seminar yang berlangsung 15 November 2009 itu, kemerdekaan Indonesia dianalisis dari perspektif Belanda. Para pemikir Belanda yang hadir dalam acara itu menyajikan image bahwa keinginan rakyat Hindia Timur untuk merdeka muncul secara jelas setelah kehadiran Jepang dan ‘penjajahan’ oleh Barat (dalam hal ini, tentara Sekutu yang menduduki Indonesia setelah Jepang kalah). Para pemikir Belanda itu bahkan menilai bahwa kolonialisasi bermanfaat bagi populasi Indonesia, contohnya adanya pembangunan jalan-jalan dan perdagangan VOC dengan Hindia Timur.

Ken’ichi dalam makalahnya juga menulis tentang pandangan orang Belanda bahwa mereka melakukan kebijakan kolonial pencerahan (enlightened colonial policy) di Hindia Timur. Van Deventer, sebagaimana dikutip Ken’ichi, adalah salah seorang proponent pandangan ini, mengatakan, “How beautiful is the goal which we have set ourselves to achieve! Thanks to the efforts of the Netherlands, a society is to be built in this far distant land in the East that will give him prosperity and a high culture and that he will acknowledge with gratitude. . .”

Hal inilah yang diungkapkan oleh Edward Said, “adanya ‘keyakinan’ bahwa ada wilayah dan orang-orang tertentu yang membutuhkan  dan memohon untuk didominasi.”   Saat menyoroti penjajahan Zionis di Palestina, Said mengatakan bahwa Zionisme secara efektif mengadopsi konsep rasial dari budaya Eropa. Kaum Yahudi mengalami perlakukan ‘anti Semit’ di Eropa, lalu Zionisme menginternalisasi representasi perlakuan itu dan menerapkannya di Palestina, dengan menganggap bahwa bangsa Palestina terbelakang dan karenanya ‘memerlukan’ dominasi.   Dengan kata lain, dalam pandangan Barat, suatu bangsa dijajah karena bangsa itu ‘butuh’ untuk dijajah.
Continue reading

Leave a comment

Filed under Analisis, Theory&Meta-theory

Posisi Moral dalam Teori Realisme

© Dina Y. Sulaeman

Political action must be based on a consideration of morality and power
… it is as fatal in politics to ignore power as it is to ignore morality.
(
EH Carr, 20 Years’ Crisis, 1939:97)

Menurut Sorensen (2009:88), asumsi dasar realisme adalah adanya pandangan pesimisme atas sifat manusia. Manusia dicirikan sebagai makhluk yang cemas akan keselamatan dirinya dalam hubungan persaingannya dengan yang lain. Mereka selalu ingin meraih keuntungan dan berada dalam posisi pengendali. Karena itu mereka berusaha menjadi yang terkuat dalam berhubungan dengan pihak lain. Sifat dasar inilah yang kemudian terefleksikan dalam hubungan antar-negara.
Setelah menelaah beberapa jurnal seputar realisme, penulis menyimpulkan bahwa realisme memiliki banyak wajah. Dalam tulisan bagian pertama ini, penulis akan membatasi topik dengan mengeksplorasi nilai moral dan realisme, terutama  dalam kacamata Morgenthau. Turner dan Marzur menyatakan, “Morgenthau adalah peletak disiplin HI modern dan bukunya Politics Among Nations selama beberapa dekade menjadi buku teks dominan dalam bidang HI.”
Teori realisme klasik sering diidentikkan dengan struggle for power, egoisme negara, hak negara untuk melakukan apapun demi kepentingan nasional.

Morgenthau menulis, “Politik internasional seperti semua politik adalah perjuangan demi kekuasaan. Apapun tujuan akhir politik internasional, kekuasaan merupakan tujuan yang selalu didahulukan.” Secara sekilas, seolah realis menjustifikasi manusia/negara untuk melakukan apapun demi kekuasaan, kalau perlu dengan perang. Aspek moral seolah tidak dihiraukan oleh mazhab realis.  Seperti ditulis Gorener  “Realisme politik sering dianggap sebagai penghalang terbesar terhadap perhatian sistematis atas peran etika dalam hubungan internasional. Ajaran realis telah dikonstruksi dan direkonstruksi selama bertahun-tahun untuk menampilkan pandangan dunia (worldview) yang amoral. Pandangan seperti tertanam kuat dalam pemikiran para penstudi HI sehingga usaha apapun untuk melihat politik dunia dari sudut moral dianggap sebagai pelanggaran terhadap pendekatan realisme.”

Masih menurut Gorener,
“Dominasi tradisi realis pada paruh kedua abad ke-20 menjadi alat dalam meminggirkan peran etika dalam studi HI. Realisme politik menjadi terkemuka setelah PD II terutama karena para pendukungnya mampu mengkapitalisasi ketidakpuasan atas aspirasi idealis yang tidak berhasil memprediksi-apalagi mencegah-tragedi kemanusiaan terburuk pada abad ke-20. Penggambaran realis  bahwa politik dunia itu konfliktual, bahkan brutal, didominasi oleh egoisme dan aktor-aktor yang haus kekuasaan, sangat masuk akal bagi para korban kebrutalan. Karena itulah realisme diterima secara luas dalam dunia akademik dan lingkaran pengambilan keputusan.”

Namun, benarkah realis selalu identik dengan perang? Benarkah realisme menolak moral (sehingga dianggap sebagai antitesis liberalisme yang mengedepankan aspek moralitas dan idealisme)?
Dalam buku Politics Among Nations Morgenthau yang konon dianggap ‘buku suci HI’, ternyata moralitas juga menjadi salah satu pokok bahasan. Morgenthau menulis:

Etika, moral, dan hukum turun tangan agar dapat melindungi masyarakat dari perpecahan, dan orang-per-orangan dari perbudakan dan permusnahan. Jika suatu masyarakat atau anggotanya tak mempu melindungi diri sendiri demgan kekuatan sendiri dari dorongan kekuasaan orang lain,kalau, dengan kata lain, mekanik kekuasaan politik ternyata diperlukan, maka sistem normatif berusaha melengkapi kekuasaan politik dengan berbagai aturan dan perilakunya sendiri.
Dalam sebuah artikel berjudul “Six Prinsiples of  Political Realisme” yang merangkum isi buku Morgenthau  dituliskan bahwa sesungguhnya realisme peduli pada signifikansi moral dalam aksi politik. Realisme juga menyadari ketegangan yang ineluctable antara moral dan syarat-syarat dari keberhasilan aksi politik. Realisme tidak ingin melenyapkan ketegangan ini karena hal ini akan menimbulkan kebingungan dalam memahami keduanya (moral dan isu politik). Karena itu, realisme mempertahankan tesis bahwa prinsip moral universal tidak bisa diaplikasikan dalam tindakan negara (actions of states) dalam bentuk formulasi abstrak, tetapi prinsip moral itu harus disaring dalam situasi yang konkrit pada waktu dan tempat tertentu.

Dengan kata lain, seseorang bisa saja berkata, “Keadilan harus ditegakkan, biarpun bumi ini hancur karenanya.” Tetapi, sebuah negara tidak bisa mengatakan hal itu karena negara bertanggung jawab atas warga negaranya (tidak mungkin negara membiarkan negaranya hancur). Baik individual dan negara harus menilai aksi politik dengan prinsip moral universal, misalnya kemerdekaan (liberty). Individual memiliki hak moral untukmengorbankan dirinya dalam membela prinsip moral; tapi negara tidak memiliki hak untuk melakukan hal yang sama. Negara harus melakukan politik moral yang disertai dengan kebijaksanaan. Negara harus memilikirkan konsekuensi politik dari aksi-aksi moral. Realisme menganggap kebijaksanaan (prudence) atau pertimbangan atas konsekuensi dari alternatif tindakan-tindakan politik sebagai nilai tertinggi dalam politik.

Hal ini juga dikemukakan oleh Sorensen (2009:100), “Morgenthau mengikuti tradisi Thucydides dan Machiavelli: hanya ada satu moralitas bagi wilayah pribadi dan moralitas yang sangat berbeda bagi wilayah publik.”

Gorener dengan mengutip Morgenthau, menyatakan bahwa pilar utama keseluruhan teori realis dibangun atas asumsi bahwa perilaku negara-negara adalah rasional dan universal. Karena negara dan pemimpin negara berpikir dan bertindak demi mengejar kepentingan nasional, yang didefisinikan sebagai ‘power’, maka—menurut realis—adalah mungkin untuk merekonstrusi proses pengambilan keputusan bahkan di dalam kondisi yang berbeda-beda sekalipun.

Kenyataannya, negara-negara seringkali berperilaku di luar tesis kaum realis. Hal ini tampak pada kritik Morgenthau sendiri yang ditulisnya dalam In Defense of National Interest (1951).  Menurut Mearsheimer, kebijakan luar negeri AS adalah utopia dan bertentangan dengan konsepsi politik dari kebijakan luar negeri sebagaimana yang digariskan oleh pendekatan realis. Dalam perang Vietnam (akkhir 1950-an), Morgenthau terang-terangan mengkritik perang tersebut. Menurut pemimpin AS, Perang Vietnam dilancarkan demi mencegah meluasnya komunisme di Asia Tenggara. Jika Vietnam jatuh ke tangan komunis, maka komunisme akan menyebar ke negara lain, demikian menurut Gedung Putih.

Sebaliknya, Morgenthau memandang bahwa negara-negara akan selalu berusaha menyeimbangkan kekuasaan. Negara-negara tetangga Vietnam tak akan sedemikian mudah diubah menjadi negara komunis hanya gara-gara Vietnam dipimpin oleh penguasa komunis.  Morgenthau juga mengkritik aksi intervensi yang dilakukan AS terhadap Kuba.

Intinya, pilar utama realis yang menyatakan bahwa negara adalah ‘rasional’ (selalu melakukan pilihan rasional demi meraih kepentingan nasionalnya) runtuh oleh kenyataan bahwa negara-negara justru sering melakukan pilihan yang tidak rasional.

Dalam karya Morgenthau selanjutnya, Politics In 20th Century¸ dia seolah telah menggeser pandangannya tentang politik internasional. Sebagaimana dikutip Gorener, Morgenthau dalam buku tersebut membagi dua ‘kepentingan nasional’ (yang semula hanya didefinisikan sebagai ‘power’):
1. Kepentingan nasional dalam bentuk hard core, yang meliputi  fisik, politik, dan identitas kultural.
2. kepentingan nasional dalam bentuk variabel, yaitu tujuan kebijakan negara (goals of the state policy) yang sesuai dengan konteks budaya sebuah negara, tradisi politik, standar moral, serta personality para pemimpin negara.  Tujuan (goals) ini subjektif, tidak fix, dan tidak selalu rasional, karenanya tidak bisa diprediksikan.  Sebagian besar pembuatan kebijakan negara berkaitan dengan variabel subjektif ini. Karena itulah Morgenthau menulis, “Sumbangan yang bisa dilakukan oleh analisis saintifik dalam bidang ini, sebagaimana juga dalam semua bidang formasi kebijakan, adalah terbatas.”
Karena itu, Gorener menyimpulkan bahwa sesungguhnya kaum realis tidak pernah menentang pilihan moral, melainkan hanya menantang perilaku kebijakan politik luar negeri (foreign policy behaviour) yang dipimpin oleh aspirasi utopis dan slogan sentimental. Realis menyatakan bahwa kebijakan luar negeri yang dipandu oleh keyakinan superioritas moral seseorang (suatu rezim) dan spirit perang Salib (crusading spirit) akan membawa konsekuensi yang menghancurkan. Dengan kata lain, jika prinsip moral menguasai kebijakan luar negeri, akan menghasilkan kerigidan, simplifikasi analisis, dan perilaku politik yang fanatis.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa realis menghapuskan pertimbangan moral dari alam kepentingan nasional. Inilah yang diungkapkan Morgenthau saat memrotes Perang Vietnam. Dia mengkritik perang itu justru bukan dari sisi kalkulasi sukses-gagal, melainkan dari sisi moral. Dia  menyatakan bahwa AS akan mengalami kerusakan moral yang tidak terhitung. Kerusakan moral itu terjadi karena bangsa AS tidak bisa melihat keuntungan politik yang bisa menjustifikasi pembunuhan dalam perang itu. Kata Morgenthau, “Risiko yang kita hadapi saat ini bukanlah politik atau militer. Ini adalah resiko bagi diri kita sendiri, pada identitas kita, pada keberadaan kita sebagai bangsa yang besar.”

Di bukunya Politics of 20th Century, Morgenthau menyatakan ketidakpuasannya pada sebagian kritikus yang telah mengambil beberapa kata keluar dari konteksnya untuk membuktikan bahwa realisme dalam HI adalah tidak berprinsip dan mengabaikan moral. Menurut Morgenthau, realis sesungguhnya tidak menolak kemungkinan untuk menilai perilaku negara dengan kriteria moral. “Sesungguhnya, tindakan negara adalah subjek dari norma moral universal dan saya telah berhati-hati untuk membedakan posisi saya dari Hobbes.”
Dalam berbagai tulisan atau buku disebutkan bahwa realisme dilandasi oleh pemikiran Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes. Hobbes menyatakan bahwa “keadaan alami merupakan lingkungan manusia yang sangat tidak bersahabat, di mana terdapat ‘keadaan perang’ di antara sesama manusia; dalam kondisi alaminya, setiap pria, wanita, dan anak berbahaya bagi siapapun, kehidupan terus berada dalam bahaya, dan tidak seorang pun yakin tentang keamanan dan kelangsungan hidupnya untuk jangka waktu tak terbatas.”

Namun demikian, sebagaimana ditulis oleh Gallarotti, buku Leviathan yang disebut-sebut sebagai buku rujukan kaum realis justru juga memasukkan konsep moral.  Gallarotti menulis,
“Buku Leviathan karya Hobbes tidak secara khusus berbicara tentang anarkhi tetapi lebih banyak membahas tentang persemakmuran (commonwealth). Anarkhi adalah situasi tidak menyenangkan yang harus dilalui untuk sampai pada keberadaan negara yang beradab (civilized state of existence). Leviathan mengemukakan isu tentang pendirian commonwealth, sebuah manisfestasi dari masyarakat sipil yang damai. Lalu setelah berdiskusi tentang anarkhi di Bab 13-15, Hobbes melanjutkan dengan berbicara tentang commonwealth dalam konteks konstruktivisme dan neoliberalisme: kooperasi, hukum, hak, moral, dan bahkan agama.”

Agaknya, benar juga yang dikatakan Gorener, “Memang benar sebagian realis bersikap skpetik terhadap moral, namun mereka jelas merupakan kelompok minoritas dalam mazhab realis. …Bagi kaum realis, pertanyaan moral tidaklah menjadi pemisah antara pilihan dan tindakan (choice and action). Pilihan moral (moral choice) adalah inherent dalam semua hubungan manusia, termasuk dalam hubungan international.”

Note: catatan kaki dan dafar pustaka sengaja dihilangkan dari posting ini.

1 Comment

Filed under Theory&Meta-theory

Empirical Theory dan Normatif Theory dalam HI

©Deasy Silvya Sari

Teori adalah A system of general statements about reality, which are systematically ordered and subject to intersubjective corraboration. Menurut Jujun S. Suriasumantri (2003) sebuah ilmu biasanya mengandung hukum (yakni pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat, sehingga membuat kita mampu meramalkan apa yang menjadi akibat dari suatu sebab), prinsip (yakni pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi), postulat (yaitu asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya), dan asumsi (yaitu pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji).

Dalam studi hubungan internasional, sulit sekali menemukan sebuah teori yang memenuhi unsur-unsur di atas. Namun, tidak serta merta kita menyatakan bahwa teori yang berkembang di dalam studi HI bukanlah teori. Dalam ilmu-ilmu sosial berkembang istilah meta-theory. Penulis memandang bahwa teori dalam HI dapat dianggap sebagai teori dengan melekatkan pada istilah meta-theory. Sederhananya, meta-theory adalah understanding of understanding, yakni kita memahami bagaimana suatu pemahaman atau pemikiran memahami sesuatu (dunia).

Adapun sebuah teori harus bersifat sistematis dan didukung data-data, teori-teori dalam HI memenuhi syarat-syarat ini. Realisme, misalnya. Ia adalah sebuah pemahaman terhadap dunia (world view) yang paparannya cukup sistematis dan datanya memadai.
Karena termasuk meta-theory, dinamika teori-teori dalam studi hubungan internasional sangatlah tajam. Mereka saling menyanggah dan saling mengajukan pandangan-pandangan baru tentang dunia. Wujud dinamika ini terlihat jelas dalam istilah `Great Debates`. Teori HI berkembang karena terjadinya `Great Debates` ini.

Berdasarkan hubungan antara subjek dan objek, teori dibedakan menjadi dua, yaitu Empirical theory dan normative theory. Teori [yang bersifat] empiris adalah teori yang menjelaskan suatu peristiwa atau pola-pola perilaku dalam dunia nyata, tentang mengapa sesuatu itu terjadi. Teori ini memisahkan antara subjek dan objek dalam penelitian. Misalnya, realism, liberalism dan marxism. Sebaliknya, Teori [yang bersifat] normatif adalah teori yang menguraikan standar-standar etik yang dipergunakan untuk menilai hubungan internasional. Contohnya feminism, critical theory, dll.

Secara pribadi, penulis mempertanyakan ketepatan penggolongan ini karena meski realism, liberalism, dan Marxism dicontohkan sejak kuliah sebagai teori-teori yang tergolong positivism yang bersifat empiris, namun ada beberapa hal yang penulis pertanyakan adalah:

1.    Liberalism itu mengusung kebebasan individu. Apapun boleh dilakukan asal tidak menganggu hak individu. Kalaupun dalam penelitian harus memisahkan antara subjek dan objek untuk mengejar objektivitas, maka hal itupun boleh dilakukan. Namun, liberalism itu dalam hubungan internasional mengusung kerjasama yang menghasilkan organisasi-organisasi internasional (OI). OI sebagai suatu institusi erat kaitannya dengan pembentukan berbagai kesepakatan, hokum-hukum internasional (neoliberal institutional pun sangat dipengaruhi oleh pemikiran para ahli international lawyer), bahkan rezim-rezim yang jelas mengedepankan norma.

2.    Realism yang menekankan Negara dan bisa bersikap radikal, asal kepentingan Negara saya tercapai, sehingga kalau melihat suatu fenomena bisa dengan tegas memisahkan objek dan subjek dan bersikap tanpa perasaan—sekali lagi—asal kepentingan Negara saya tercapai, tentunya tidak akan pernah bisa lepas dari nilai-nilai yang diusung suatu Negara.

3.    Marxism, apalagi. Meski demi keadilan, ia ingin mengejar seobjektif mungkin, tapi keberpihakan terhadap kaum terpinggirkan akan membuat para penganutnya memilih cara-cara yang bisa mengedepankan kaum pinggiran.

Kemudian, menurut Steve Smith dan Patricia Owens, selain empirical dan normative theory, terdapat juga istilah explanatory dan constitutive theory. Menurut penulis, explanatory mirip dengan empirical theory yakni sebuah teori yang memandang dunia itu diluar teori kita (outside atau external). Sementara constitutive identik dengan normative theory yang berpandangan bahwa pemikiran teori kita sebenarnya membantu atau mencampuri konstruksi tentang dunia. Pemisahan ini sama seperti pemisahan antara disiplin yang bersifat scientific dan non-scientific.

Contoh dari explanatory misalnya teori-teori kaum realis dan strukturalis yang konsern dalam upaya mengungkapkan regularities (aturan-aturan) dalam perilaku manusia dan kemudian menjelaskan dunia social itu dengan cara yang sama dengan para ahli sains murni (ilmu alam).

Contoh constitutive theory misalnya teori-teori yang digulirkan kaum Liberalis yang berpandangan bahwa dunia itu bukanlah sesuatu yang berada diluar teori dan teori bukan hanya untuk menjelaskan dunia saja, tetapi malah suatu teori itu mengkonstruksi pemikiran kita tentang dunia tujuannya untuk membantu bagaimana seharusnya suatu dunia itu berlaku.

Klasifikasi lainnya adalah foundational dan anti-foundational, yakni tentang apakah keyakinan atau kepercayaan kita itu bisa diujukan atau dievaluasikan pada setiap prosedur-prosedur yang netral atau objektif atau tidak. Kaum foundational memandang bahwa suatu klaim kebenaran itu bisa dilekatkan hokum benar atau salah. Sementara anti-foundational berpikir tidak bisa, Karena tidak ada latar belakang atau pakem yang netral untuk melekatkan hokum tersebut. Misalnya perbedaan pemikiran tentang status ‘true women’ dari kaum feminis atau islam fundamentalis.

Karena itu, kaum foundational melihat atau mencari latar belakang meta-theory untuk memilih atau menjadi dasar pelekatan hokum di antara klaim-klaim kebenaran tersebut.
Identifikasi empirical theory, explanatory theory dan foundational melekat pada cirri kaum positivis dalam memandang suatu fenomena. Wujud dari aktivitas ini, menurut penulis, adalah pelaksanaan prosedur kuantitatif dalam penelitian-penelitian mereka. Sebaliknya, normative, constitutive dan anti-foundational melekat pada cirri kaum post-positivis yang melaksanakan prosedur-prosedur kualititatif.

Oleh karena tidak ada kejelasan yang pasti bagaimana menjelaskan teori mana yang tergolong positivis dan yang pospositivis dalam Hubungan Internasional, penulis mencoba melihat bagaimana cara mereka melakukan pendekatan terhadap suatu kasus, apakah melaksanakan metode kualitatif atau kuantitatif. Misal: adalah tidak mungkin, kaum realis dalam menjelaskan dunia itu tidak mengusung nilai. Pemikiran tentang survival, national interest, mau tidak mau akan mempengaruhi pemikiran seorang realis dalam menyusun kebijakan luar negeri suatu Negara. Boleh ada kerjasama dan itu adalah hal yang bagus, tapi kalau suatu kerjasama itu merugikan kedaulatan negaranya, pasti Negara harus memikirkan ulang apakah kerjasama itu akan dilanjutkan atau tidak.

Tetapi kita, sebagai pen-studi HI, dalam melakukan penelitian itu pasti sifatnya outside atau external dari objek penelitian, karena kita tidak pernah menyentuh langsung permasalahannya seperti apa. Sehingga kita bisa mengejar objektif dalam penelitian. Misal, buku The Scientific Study of Peace and War: A Text Reader karya John A. Vasquez dan Marie T. Henehan, kebanyakan tulisan yang dimuat dalam buku ini menggunakan pendekatan kuantitatif daam menguraikan factor-faktor yang menyebabkan perang dan damai, misalnya tulisan J. David Singer, Stuart Bremer dan John Stuckey yang berjudu ‘Capability Distribution, Uncertainty, and Major Power War 1820-1965.. Sehingga penulis mempunyai kesimpulan, tidak ada batasan yang jelas mana yang positivis dan postpositivis dalam teori-teori Hubungan Internasional. Kalaupun kita mau melakukan klasifikasi, maka lihat pendekatan mereka terhadap suatu masalah atau fenomena, kualitatif atau kuantitatifkah. Ada kaum realis yang positivis dan ada kaum realis yang pospositivis.

Yang Positivis adalah yang Mainstream (Grand Theory)

Berdasarkan tingkat keabstrakkannya, teori dibagi menjadi grand theory, middle range theory dan parochial theory. Kalau boleh penulis analogikan, jika grand theory itu seperti bumi, maka middle range theory adalah pulau-pulau dan parochial theory adalah Negara. Parochial theory itu mengacu pada suatu teori yang hanya berlaku pada satu fenomena atau suatu kasus tertentu.

Sementara grand theory meliputi banyak kasus dan juga teori tersebut mempunyai banyak varians-nya. Bahkan, apapun permasalahannya, dari sudut apapun permasalahan tersebut dilihat, grand theory pasti mampu menjawabnya. Misalnya, realism. Apapun kekacauan yang terjadi di dunia ini atau kerjasama apapun yang terbentuk di antara Negara-negara, ujung-ujungnya akan kembali pada national interest masing-masing Negara. Pertanyaannya kemudian adalah, manakah yang termasuk grand theory, mana yang middle, dan mana yang parochial?

Apakah posisi suatu teori tergolong dalam salah satu klasisfikasi di atas adalah hal yang tetap?
Setidaknya, menurut Steve Smith dan Patricia Owens, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam perkembangan teori HI, yakni: pertama, posisi realism sebagai grand theory selain selalu dipertanyakan/ditentang oleh kaum Liberalisme, juga oleh teori-teori yang lain. Kedua, seiring dengan bergulirnya globalisasi, focus utama realism pada Negara menjadi kurang relevan terutama dengan bermunculannya actor-aktor non Negara yang juga perlu dijelaskan diluar konteks Negara sebagai focus utama. Ketiga, seperti halnya ilmu-ilmu social lainnya, muncul pertentangan (question) yang mengurai masalah metodologis ala positivis yang menjadi kurang relevan lagi, khususnya dalam teori hubungan internasional. Untuk itu perlu diperhatikan pula, bahkan masuk menjadi grand theory mungkin, teori-teori lain selain realism, liberalism atau strukturalis, misalnya feminist yang sudah mempunyai banyak varians, atau pendapat-pendapat para intelektual di luar Eropa, Amerika atau Australia, misalnya dari China seperti jurnal yang penulis tinjau (review), yakni Theoritical Perspectives from China on International Reations karangan by Khalid Hilal yang meninjau tulisan DR. Gerald Chen, dengan judul Chinese Perspectives on International Relations.

Dalam jurnal  tersebut Khalid Hilal mengungkapkan bahwa para intelektual China menyatakan teori harus mengarahkan kebijakan dan bersifat praktis sehingga kebijakan tersebut bisa rasional. Hilal menyoroti bahwa hubungan langsung antara teori dan praktek ini mengarahkan Chinese Communist Party (CCF) untuk melakukan riset dalam menghasilkan kebijakannya. Namun, ternyata rasionalitas kebijakan tersebut selalu dibayang-bayangi oleh Marxism. Di China, Marxism, pemikiran Mao Siding dan Ding Ciao Phing menjadi standar objektivitas suatu ilmu dan rasionalitas suatu kebijakan karena aliran pemikiran ini sesuai dengan kultur China. Misalnya apa yang dimaksud dengan ‘damai’ adalah adanya kesetaraan di antara Negara-negara, tidak adanya kekerasan dan kompetisi yang eksis. Setelah membaca jurnal tersebut,

Penulis memandang bahwa Marxism tergolong grand theory di dalam teori hubungan internasional di China. Namun posisi ini mulai dipertanyakan juga oleh sebagian penstudi HI [terkini] di China terkait objektivitas suatu ilmu yang distandarkan pada pakem-pakem metodologi ilmu sain (eksakta) dari Barat yang berupaya memisahkan antara subjek dan objek penelitian, bukan standar Marxism.

Menarik juga sebuah jurnal karya Alex Mintz dan Steven B. Redd yang berjudul Framing Effects In International Relations yang menuliskan bahwa framing is probably the least well-developed central concept of prospect theory. Dalam ilmu social, framing menjadi penting karena selain berprospek menjadi teori, ia juga memunculkan literature yang belum berkembang secara formal, terutama dalam mengungkapkan dan menganalisis isyu-isyu. Dalam HI, Framing menjadi penting karena seringnya politikus menggunakan informasi dan retorika untuk mendorong, mempengaruhi bahkan membujuk para pembuat keputusan dengan mengadopsi frame tertentu, misalnya digunakan untuk manipulasi politik terhadap pihak ‘kawan’, masyarakat umum, simpatisan, media massa, partai lawan, atau meraup simpatik dari Negara-negara lain. Namun, penulis masih ragu dalam meletakkan framing sebagai teori seperti yang diusulkan oleh penulis jurnal tersebut, atau sebuah metode melakukan analisis atau penelitian dalam studi hubungan internasional, khususnya terkait dengan pewacanaan media.

Tulisan dari Amitai Etzioni yang berjudul A Neo-Communitarian Approach to International Relations: Rights and the Good, cantik sekali mengupas bagaimana neo-communitarian mempertanyakan masalah normative framework dalam international affairs, terutama menyangkut masalah human rights. Human rights yang mendominasi tatanan dunia saat ini mewakili aura Barat yang tidak cocok bagi Timur. Bahkan, communitarian menganggap Universal Rights sebagai ‘violation’ [pengganggu, perusak, pelanggar] budaya-budaya communal partikularistik. Dalam tulisan ini, selain mengajukan refisi, neo-communitarian mengajukan mekanisme memecahkan konflik atas violation tadi. Etzioni menyatatakan posisi metodologis neo-communitarian adalah sesuatu yang dialektis dimana aliran ini mengakui berbagai prinsip yang saling bertentangan dan mencari solusi dengan meng-explore [menyelidiki, menjelajahi secara mendalam] berbagai akomodasi [suara-suara atau masukan-masukan] yang diutarakan.

Terkait dengan isyu lingkungan hidup yang sedang tren saat ini, tulisan dari M.R. Aurer  yang berjudul Who Participate in Global Environmental Governance? Partial Answers from International Relations Theory, perlu kita tinjau. Beberapa hal yang penting dari tulisan ini adalah, pertama, Aurer membahas mengenai pertanyaan : is international relations a policy science? Aurer menyatakan, meski banyak teori HI yang tergolong normative science, tapi tidak ada literature yang menganggap HI sebagai policy science. Policy science bertujuan pada aksi.

Masalah lingkungan hidup adalah masalah yang membutuhkan aksi, tindakan nyata. Kedua, bahwa para penstudi HI harus mulai mempertimbangkan mengalihkan subjek HI dari paradigm yang bersifat state-centered pada actor-aktor lain selain Negara. Aurer menekankan pentingnya kiprah institusi lokal, seperti NGOs, dalam mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup yang bersifat global. Ketiga, ketika warganegara biasa dan organisasi lokal menjadi pusat analisis, diperlukan wawasan kebijakan baru yang jelas untuk mengupas masalah ini. Keempat, untuk menghasilkan kebijakan praktis dan bersifat problem solving yang bisa melegalkan kinerja actor non-negara dan mendorong Negara agar mau mendukung kebijakan tersebut, maka telaahan terhadap rezim internasional patut dikembangkan.

Note: catatan kaki dan daftar pustaka sengaja kami hapus dari tulisan ini.

Leave a comment

Filed under Theory&Meta-theory