Menantang Saudagar Global dengan Mekanisme Sharia

© Deasy Silvya Sari

Merkantilisme berasal dari kata merchant (pedagang, saudagar), yang dalam masa kejayaannya berarti mengidentikkan negara sebagai seorang pedagang. Kaum merkantilis sebenarnya tidak menganggap merkantilisme sebagai sebuah ideologi atau aliran pemikiran dalam ekonomi, karena mereka terdiri dari kaum praktisi, kaum lapangan. Mereka bekerja berdasarkan intuisi atau feeling sebagai seorang pedagang. Namun karena kinerja mereka nyata, maka orang-orang me’labeli’ mereka dengan merkantilisme.

Saudagar global yang dimaksud dalam judul di atas adalah ternyata, pada era globalisasi, aktor saudagar itu tidak hanya negara, tapi juga individu, NGO, TNCs atau MNCs. Dalam perdagangan bebas yang mendasari globalisasi ekonomi, mereka berperan sebagai ‘saudagar global’, apapun isme atau ideologi yang mereka pakai dalam gaya berdagang mereka.
Dalam menghadapi kiprah saudagar global ini, menurut penulis, Indonesia perlu menerapkan mekanisme Sharia agar tidak terjebak dalam kerugian yang berarti. Pemakaian kata mekanisme, bukan ideologi dimaksudkan agar apapun nama atau label yang dipakai, mekanisme sharia ini tetap diterapkan. Mekanisme sharia yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mengganti sistem pajak dengan zakat dan menerapkan sistem bagi hasil dalam mendongkrak perdagangan global.

Sistematika penulisan akan diawali dengan pemaparan mengenai merkantilisme dan prinsip-prinsip yang mereka anut. Dilanjutkan dengan pemaparan kritik-kritik terhadap merkantilisme. Menghadapi berbagai kritik tersebut, merkantilisme melakukan transformasi menjadi neo-merkantilisme. Kemudian guna menghadapi kiprah neo-merkantilisme, mekanisme sharia itulah yang selayaknya diterapkan Indonesia.
Continue reading

Leave a comment

Filed under Uncategorized

DOLLAR DIPLOMACY AMERIKA SERIKAT DALAM POLITIK KEAMANAN ASIA PASIFIK

© Deasy Silvya Sari (171420090007)

Seringkali konflik muncul hanya karena masalah sepele: Urusan Perut! Tapi dalam upaya pemenuhannya, manusia melakukan berbagai cara ekspansi ekonomis yang menunjukkan derajat keberadaban dan kebarbaran. Meningkatnya kerja sama ekonomi transnasional, tumbuh pesatnya blok-blok perdagangan regional, meningkatnya investasi asing dalam berbagai aspek kehidupan, gencarnya bantuan luar negeri yang bersifat politis, semua ini menunjukkan cara ‘beradab’ manusia, baik negara maupun aktor non negara dalam melakukan ekspansi ekonomis guna memenuhi kebutuhan perut mereka. Tetapi sejarah juga mencatat, torehan kelam kehidupan manusia, perbudakan massal yang dilakukan atas nama negara melalui elit-elit barbar dalam masa imperialisme dan kolonialisme. Tak terhitung berapa banyak nyawa manusia yang melayang karena eksploitasi Utara atas Selatan. Kini ekspansi ekonomis barbar ala baru yang kian agresif mencekik leher-leher manusia dengan cara yang sangat halus semakin mencengkeramkan taring-taring hegemoni mereka. Riba!

Riba-lah yang telah menghancurkan tatanan ekonomi dunia dalam waktu yang sangat singkat, menggelamkan dunia dalam krisis ekonomi pada 1997 dan 2008. Laksana  penyakit menahun yang kumat begitu sering. Film Wall Street 2 menggambarkan bagaimana para jutawan muda pialang-pialang saham itu menjadi pengangguran yang kebanjiran utang hanya dalam hitungan menit. Dan bagaimana seorang pemilik perusahaan yang teramat kaya, pada akhirnya melemparkan tubuhnya ke rel kereta api bawah tanah. Hanya karena perusahaannya telah bangkrut dan kebangkrutannya ditentukan oleh konsensus diantara kelompok para pemilik saham dan permainan angka-angka mata uang yang sangat manipulatif. Inilah cara-cara barbar yang sangat halus dalam memenuhi urusan perut manusia.
Dalam fitrah manusia yang seperti paparan di atas, tulisan ini bermaksud untuk menguraikan upaya-upaya Amerika Serikat dalam mencengkeramkan taring hegemoninya melalui Dollar Diplomacy yang mempengaruhi suasana politik keamanan di Asia Pasifik. Dollar Diplomacy adalah penggunaan kekuatan suatu negara secara aktif terhadap negara-negara lainnya untuk meningkatkan kepentingan rakyatnya di bidang investasi. Kebijakan politik semacam ini memerlukan intervensi militer jika dianggap perlu dalam rangka menjamin stabilitas dan mencegah intervensi asing.

Continue reading

Leave a comment

Filed under Amerika Serikat, Analisis, Asia Pasifik

Mendamaikan Dua Paradigma Politik LN

Tulisan ini dibuat oleh Julius Sumant, jurnalis Metro TV yg dulunya kuliah di HI UGM. Menarik dibaca karena dia mengaplikasikan teori2 HI utk mengkritisi konflik Ina-Malaysia.

MENDAMAIKAN DUA PARADIGMA POLITIK LUAR NEGERI

Oleh:

JULIUS SUMANT

Jurnalis, Produser Mata Najwa di Metro TV

juliussumant@gmail.com

@juliussumant

Insiden penangkapan tiga anggota patroli pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia 13 Agustus lalu berbuntut panjang. Dalam rapat dengar pendapat  pertama antara Menteri Luar Negeri dengan Komisi I DPR, muncul desakan agar pemerintah berani lebih tegas bertindak selain sekedar menyampaikan nota protes diplomatik. Wakil rakyat mendesak pemerintah menuntut Malaysia meminta maaf, dan kalau Kuala Lumpur menolak, perlu segera menarik dan memulangkan duta besar masing-masing.

Menjawab desakan itu, Menlu Marty Natalegawa menjelaskan penarikan duta besar hanya akan mengakibatkan keadaan semakin buruk, sementara ada banyak kepentingan Indonesia di Malaysia yang harus diselamatkan.

Sentimen negatif anggota Komisi  dan juga kegemasan sebagian warga masyarakat menyaksikan harga diri bangsa mereka diinjak rupanya tak sejalan dengan diplomasi positif  yang diadopsi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kebijakan Seribu Kawan Nol Musuh digugat hebat dan dipertanyakan manfaatnya. Lantas mengemuka pertanyaan besar, bagaimana mungkin pembuat kebijakan luar negeri berseberangan sikap dengan aspirasi masyarakat terkait arogansi Malaysia itu?

Rivalitas Dua Paradigma

Ketidaksinkronan pandangan itu terbaca kuat sebagai bentuk rivalitas dua paradigma paling dominan dalam politik internasional. Pertama, pandangan realis yang diwakili oleh sentimen negatif di parlemen dan warga masyarakat. Pandangan realis ini bertumpu pada asumsi bahwa negara adalah agen politik paling kecil dalam politik internasional yang bertindak sangat rasional (Michael Mastanduno, International Order and the Future of World Politics). Pandangan ini juga menganggap kekuatan militer sebagai instrumen politik yang efektif dalam politik internasional. Ada semacam hirarki isu yang menempatkan isu high politics seperti kedaulatan dan pertahanan negara jauh lebih tinggi derajadnya ketimbang isu low politics di bidang ekonomi atau budaya. Bagi penganut paradigma ini, politiklah sang panglima.

Di kutub yang lain, ada pandangan liberal yang menganggap negara bukan lagi unit politik tunggal dalam panggung politik internasional.  Negara tidak lagi sentral sebagai aktor politik internasional karena ada beragam kelompok transnasional dan birokrasi  yang ikut mempengaruhi kebijakan luar negeri (Robert Keohane & Joseph S Nye, Conflict After the Cold War). Dengan demikian, kebijakan luar negeri merupakan hasil dari mesin kebijakan yang multi kanal. Konsekuensinya, tidak ada lagi hirarki isu politik tinggi dan politik rendah. Kekuatan militer tetaplah penting tetapi bukan lagi kepentingan nasional yang paling dominan. Kalaupun ada, postur militer yang dibangun lebih untuk proyeksi politik yang lebih global dan tidak akan ditujukan terhadap negara serumpun.

Pandangan liberal ini tercermin pada sikap Kementerian Luar Negeri yang menutup kemungkinan penarikan duta besar atau penurunan status diplomatik seperti yang didesak oleh Komisi I DPR. Ada sikap bulat tidak membuka peluang ‘konfrontasi terbuka’ sekecil apapun dengan negeri jiran. Quo vadis Kemenlu dan Pemerintahan SBY tampak nyata dengan hanya membatasi sikap sebatas nota protes. Mengadopsi kebijakan ‘keras’ hanya akan merugikan kepentingan nasional, baik potensi  ekonomi  maupun jejaring interdependensi global yang sudah terbentuk. Padahal, selain dosis paling ekstrem berupa perang fisik (dan ini sebetulnya sangat tidak mungkin tapi sering disalahartikan), masih ada dosis tindakan diplomatik yang bisa menjadi jalan tengah. Tidak selembek nota protes, tapi juga tidak seburuk perang fisik. Inilah esensi diplomasi, sebuah seni bernegoasi untuk sebuah tujuan politik tertentu yang akan lebih maksimal jika menggabungkan kekuatan soft power dan kekuatan hard power.

Harmony among realists

Timbul pertanyaan, kalaupun sejak lama dua paradigma hubungan internasional ini hadir, bagaimana menjelaskan jeda panjang hubungan Indonesia-Malaysia yang harmonis selama kekuasaan Orde Baru, dan sebaliknya, konflik serumpun yang makin sering mengemuka setelah masa itu?

Tak pelak, Indonesia di bawah Suharto mampu menciptakan ‘harmony among realists’ dengan Malaysia yang lama dipimpin oleh Mahathir Muhammad. Saat itu, Suharto seperti halnya Mahathir memegang kendali penuh atas negara dan perangkatnya. Suharto adalah satu-satunya representasi rasionalitas politik luar negeri Indonesia. Mahathir punya peran serupa untuk Malaysia.  Ada pengakuan eksplisit bahwa Indonesia yang terpersonifikasi dalam diri Presiden Suharto dituakan oleh para pemimpin negeri jiran. Hubungan ini menjadi sebuah rujukan bagi terciptanya stabilitas politik di kawasan.

Kebijakan berparadigma sangat realis (disebut juga sebagai realis baru) tercermin saat negara-negara Asia Tenggara berhimpun di bawah ASEAN lewat Deklarasi Bangkok pada Agustus 1967. Situasi Perang Dingin antara blok Barat dan blok Komunis mengharuskan negara-negara Asia Tenggara yang sebetulnya beraneka ragam secara politik bersatu untuk mewujudkan stabilitas keamanan di kawasan.  Harmoni para realis ini terbukti mampu meredam potensi konflik yang mungkin timbul dari persoalan perbatasan terutama di sekitar Laut Cina Selatan.

Pergeseran Struktur Realisme

Sayangnya, bandul realisme politik di Asia Tenggara sedikit demi sedikit bergeser sepeninggal para pemimpin senior mereka. Struktur politik di negara-negara ASEAN makin terdesentralisasi seiring iklim politik yang semakin terbuka. Sejak itu, kebijakan politik luar negeri tidak lagi secara hitam putih dimonopoli oleh agensi bernama negara. Lebih dari itu, keterbukaan juga memberi ruang sangat lebar kepada kelompok politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan dalam formulasi kebijakan. Alhasil, politik luar negeri sebuah negara menjadi tampak anarki satu sama lain.

Secara natural, politik internasional tetap bergerak dalam realisme hubungan antar negara, namun di sisi lain secara politik nasional mengalami disharmoni kepentingan. Dengan kata lain, secara internal negara menjadi sebuah multi kanal kepentingan. Maka menjadi masuk akal jika kemudian Kementerian Luar Negeri dan juga Pemerintahan SBY mengambil jalan penyelesaian yang terkesan tidak bulat menyangkut arogansi Malaysia dengan alasan ada kepentingan devisa dan investasi yang perlu diselamatkan. Nature politik luar negeri semacam ini akhirnya berpadu dengan ketidaktegasan Pemerintah sendiri yang cenderung ‘main aman’ dengan kebijakannya yang mengakomodasi politik ‘Seribu Kawan Nol Musuh’. Kebijakan politik ini bahkan tak jelas orientasinya jika dibandingkan dengan politik Bebas Aktif-nya Pak Harto, apalagi fondasi politik luar negeri RI yang diletakkan Bung Hatta lewat pidatonya ‘Mendayung di Antara Dua Karang’ tahun 1948.

Bung Hatta mendayung di antara dua blok karang , komunisme dan Barat, di saat Republik tengah menghadapi dua agresi militer Belanda.  Orientasinya jelas: kedaulatan penuh Indonesia. Sikap RI yang anti-komunis sengaja diadopsi dengan tujuan menarik AS dan Barat agar mendukung perjuangan Indonesia dan pada saat bersamaan menekan banalitas Belanda agar mau duduk di Konferensi Meja Bundar. Hasilnya pun jelas:  pengakuan Belanda atas seluruh wilayah Republik (Indonesia Serikat) kecuali Papua tahun 1949. Lewat diplomasi yang lincah pula, Sukarno bisa menekan Presiden AS John F Kennedy untuk membarter Allen Pope (pilot CIA yang ditembak jatuh karena membantu pemberontak Permesta di Maluku) dengan 10 unit Hercules C-130. Alhasil, TNI AU menjadi angkatan udara pertama di dunia yang mengoperasikan pesawat angkut raksasa itu di luar AS.

Pak Harto juga punya orientasi politik luar negeri yang sangat jelas dan terukur. Karena mewarisi keadaan ekonomi yang parah, maka sasaran politik luar negeri Bebas Aktif diterjemahkan sebagai bantuan dan dana hutang untuk pembangunan. Menjelang Perang Dingin usai, Pak Harto menggalang solidaritas negara Dunia Ketiga lewat Gerakan Non-Blok dan OKI. Tujuannya jelas: mengantisipasi konstelasi politik internasional sedang bergerak ke arah polarisasi Utara (negara maju) VS Selatan (negara berkembang dan kurang berkembang) yang bukan tidak mungkin akan mengganggu perekonomian nasional di masa mendatang. Pak Harto juga membuka kembali hubungan diplomatik dengan Cina yang tengah bergerak menjadi kekuatan global baru dan berani membubarkan gabungan negara donor IGGI (diketuai Belanda) karena dianggap terlalu mengintervensi. Pernah pula di tahuun 1990-an Pak Harto menarik pulang Duta Besarnya untuk Filipina dan Australia karena merasa dilecehkan yang tentu menjadi sinyal ‘merah’ untuk Manila maupun Canberra.

Sintesa Dua Paradigma

Dua pandangan ekstrem, paradigm realis dan liberal,  mau tidak mau harus didamaikan karena kecenderungannya untuk saling meniadakan. Dengan iklim politik yang demikian terbuka saat ini, tidaklah mungkin negara menjadi satu-satunya aktor tunggal dalam politik internasional. Sebaliknya, juga menjadi naïf seandainya beragam kepentingan menggusur kedaulatan yang nyatanya berdiri di atas bangunan negara-bangsa.

Ada baiknya Pemerintah perlu meniru Cina dalam berdiplomasi soal Taiwan. Selain mengandalkan perundingan diplomatik, Beijing juga dengan taktis memainkan hard power demi cita-cita Cina Raya.  Diplomasi pamer senjata selalu dibarengi diplomasi di balik meja. Maka dengan gamblang, kita menyaksikan negeri Tirai Bambu itu tampil sebagai sebuah negara adidaya baru yang mampu mengimbangi pengaruh AS.

Mencontoh Cina, unjuk kekuatan militer atau kebijakan luar negeri yang jauh lebih keras seperti penarikan duta besar menjadi hal yang wajar dalam hubungan internasional. Perang fisik harus dihindari dan rasanya memang tidak mungkin, namun pemerintah harus bersikap lebih tegas terhadap arogansi Malaysia karena itu juga akan menyumbang pada upaya kapitalisasi banyak kepentingan nasional kita.

Antara diplomasi dan perang fisik jelas ada beda dan berbatas. Diplomasi tidak sama dengan perang fisik. Militer memang instrumen perang, tapi juga bisa dipakai untuk instrumen diplomasi luar negeri. Inilah yang disebut ‘detterence theory’, penggentar sekaligus penggertak yang membuat negeri lain akan berpikir dua kali, apalagi dalam situasi yang terus berulang dengan Malaysia. Salah besar kalau diplomasi cuma urusan di balik meja para diplomat dengan sepatu mengkilat. Jadi, kita butuh sikap yang lebih tegas dari para decision makers negeri ini.

Ahli strategi Von Clausewitz pernah beradagium, “War is continuation of political relations by other means”. Bukankah seharusnya demikian memperjuangkan kepentingan nasional kita? Di mana pemimpin tangguh yang pernah dipunyai negeri ini saat rakyatnya gusar?

(Tulisan ini adalah opini pribadi)

Leave a comment

Filed under Analisis Kebijakan Luar Negeri, Indonesia

Paradoks Hubungan Indonesia-Belanda (Analisis Poskolonialisme)

©Dina Y. Sulaeman

Katarina Soemarwoto, penulis Indonesia yang bermukim di Leiden, menulis di Jakarta Post tentang sebuah seminar di Utrecht, Belanda. Dalam seminar yang berlangsung 15 November 2009 itu, kemerdekaan Indonesia dianalisis dari perspektif Belanda. Para pemikir Belanda yang hadir dalam acara itu menyajikan image bahwa keinginan rakyat Hindia Timur untuk merdeka muncul secara jelas setelah kehadiran Jepang dan ‘penjajahan’ oleh Barat (dalam hal ini, tentara Sekutu yang menduduki Indonesia setelah Jepang kalah). Para pemikir Belanda itu bahkan menilai bahwa kolonialisasi bermanfaat bagi populasi Indonesia, contohnya adanya pembangunan jalan-jalan dan perdagangan VOC dengan Hindia Timur.

Ken’ichi dalam makalahnya juga menulis tentang pandangan orang Belanda bahwa mereka melakukan kebijakan kolonial pencerahan (enlightened colonial policy) di Hindia Timur. Van Deventer, sebagaimana dikutip Ken’ichi, adalah salah seorang proponent pandangan ini, mengatakan, “How beautiful is the goal which we have set ourselves to achieve! Thanks to the efforts of the Netherlands, a society is to be built in this far distant land in the East that will give him prosperity and a high culture and that he will acknowledge with gratitude. . .”

Hal inilah yang diungkapkan oleh Edward Said, “adanya ‘keyakinan’ bahwa ada wilayah dan orang-orang tertentu yang membutuhkan  dan memohon untuk didominasi.”   Saat menyoroti penjajahan Zionis di Palestina, Said mengatakan bahwa Zionisme secara efektif mengadopsi konsep rasial dari budaya Eropa. Kaum Yahudi mengalami perlakukan ‘anti Semit’ di Eropa, lalu Zionisme menginternalisasi representasi perlakuan itu dan menerapkannya di Palestina, dengan menganggap bahwa bangsa Palestina terbelakang dan karenanya ‘memerlukan’ dominasi.   Dengan kata lain, dalam pandangan Barat, suatu bangsa dijajah karena bangsa itu ‘butuh’ untuk dijajah.
Continue reading

Leave a comment

Filed under Analisis, Theory&Meta-theory

Bedah Buku “Tangan-Tangan Siluman AS”

Terpilihnya Obama sebagai presiden AS ke-44 disebut-sebut memberikan harapan baru bagi dunia karena akan menghentikan kebijakan ekspansionis AS. Namun kenyataannya, setelah setahun berlalu, sikap Obama masih tak jauh berbeda dengan para presiden pendahulunya. Obama tetap melanjutkan perang di Irak dan Afghanistan, bahkan ada rencana memperluasnya ke Yaman, dan tetap bersikap konfrontatif terhadap Iran.
Hal ini terjadi karena sesungguhnya ada invisible government yang mengatur strategi kebijakan luar negeri AS. Dimulai dari tahun 1800-an, pebisnis Samuel Russel mulai merajut jaringan yang kelak menguasai arena politik AS. Misalnya, bisnis Russel ini menggandeng Warren Delano, yang kelak punya cucu bernama Franklin Roosevelt dan menjadi Presiden AS ke 32. Keturunan Russel mendirikan asosiasi alumni Universitas Yale, yang dikenal dengan nama Skull dan Bones, yang dianggotai nama-nama terkenal seperti Prescott Bush, yang kemudian, anaknya Bush Sr dan cucunya Bush Junior menjadi presiden AS, ada juga keturunan Rockefeller, yang kemudian menguasai saham di berbagai perusahaan transnasional, dan banyak tokoh lainnya, yang kemudian dalam perkembangan sejarah AS menjadi pemain kunci penentu kebijakan AS. Tokoh-tokoh ini, hampir semuanya adalah juga pemilik modal besar (kapitalis) dan memiliki perusahaan transnasional. Sebagian besar dari jaringan ini bersekutu dalam sebuah lembaga yang disebut Dewan Hubungan Luar Negeri (The Council of Foreign Relations) yang menjadi perancang utama kebijakan strategi luar negeri AS, siapapun presiden yang terpilih.

Karena itu, upaya mengenali watak dasar kebijakan politik AS adalah juga upaya untuk mengenali watak dasar kapitalis. Tujuan utama para kapitalis mengakumulasi modal. Mereka akan mencari pasar seluas-luasnya dan bahan baku semurah-murahnya. Jika ada negara-negara yang menolak membuka pasar atau menyediakan bahan baku murah, Presiden AS akan turun tangan untuk menekan pemimpin negara itu, kalau perlu, presiden AS akan berupaya melakukan kudeta atau bahkan, perang. Hal ini terjadi berulang-ulang dalam sejarah dunia kontemporer. Sejak tahun 1945 hingga kini, tercatat sekitar 40 kepala negara dunia yang digulingkan oleh AS, baik secara langsung maupun tidak langsung. Umumnya mereka yang digulingkan itu adalah para pemimpin yang berupaya melakukan kebijakan-kebijakan nasionalis yang mengancam kepentingan korporasi AS.

Misalnya, pada tahun 1953, CIA mendalangi penggulingan Perdana Menteri Iran, Mossadegh, yang menasionalisasi perusahaan minyak Iran yang dikuasai Inggris. Inggris lalu bekerja sama dengan AS untuk mengkudeta Mossadegh, dan minyak Iran pun kemudian dikuasai oleh tiga pihak, AS, Inggris, Iran, meskipun pembagian labanya dilakukan secara tertutup, sehingga tidak diketahui pasti berapa banyak Iran menerima hasil minyak. Dan sudah hampir pasti, labanya jauh lebih banyak jatuh ke AS dan Inggris. Kalau tidak, tentulah rakyat Iran tidak akan sedemikian marah dan akhirnya bangkit ber-revolusi menggulingkan Shah Iran dan memutus hubungan diplomatik dengan AS.

Indonesia pun tak luput dari operasi siluman AS setelah Presiden Soekarno memperlihatkan sikap netral dalam perang dingin AS-Soviet dan bahkan berniat menasionalisasi beberapa perusahaan AS di Indonesia. Hanya dua tahun setelah Sukarno terguling, yaitu tahun 1967, diadakan Indonesian Investment Conference di Swiss yang membagi-bagi sumber daya alam Indonesia untuk dikelola perusahaan-perusahaan asing. Konferensi ini dihadiri oleh para pebisnis besar dan terkuat di dunia, misalnya David Rockefeller, dan para pemilik perusahaan-perusahaan transnasional, seperti General Motors, British Lyeland, ICI, British American Tobacco, Lehman Brothers, American Express, Siemens, dan lain-lain.

Keberadaan invisible government ini pula yang bisa memberi jawaban, mengapa AS tetap meneruskan perang di Afghanistan dan Irak, padahal sangat membebani keuangan negara. Pada era Bush, defisit APBN telah mencapai US$ 454,8 Milyar gara-gara membiayai perang. Pada era Obama, defisit semakin meningkat mencapai 1 trilyun dolar. Ketika dana negara dihabiskan untuk perang, tak heran bila kini ada 40 juta rakyat AS yang hidup di bawah garis kemiskinan dan 10% menjadi pengangguran. Sebaliknya, para kapitalis dan pebisnis yang menjadi invisible government justru meraup keuntungan besar dari perang,misalnya dari penjualan senjata dan fasilitas perang, serta konsesi penambangan minyak dan gas di Irak.

Hal ini diungkapkan Dina Y. Sulaeman dalam bedah buku “Tangan-Tangan AS: Operasi Siluman AS di Pelbagai Negara” yang dilangsungkan di Museum Asia Afrika Bandung, 20 Juli 2010. Acara yang diselenggarakan oleh Asia Afrika Reading Club dan Global Future Institute ini mendapatkan sambutan antusias dari berbagai kalangan, akademisi, guru-guru SMA bidang IPS, mahasiswa Ilmu Sejarah dan Hubungan Internasional, dan masyarakat umum. Sebagian hadirin menanyakan solusi konkrit agar Indonesia bisa melepaskan diri dari cengkeraman AS. Menurut Dina Y. Sulaeman, mahasiswi Magister HI Unpad yang juga penulis buku Obama Revealed ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah upaya penyadaran tentang hakikat dan watak politik imperialisme AS sehingga kelak muncul kesadaran publik untuk bangkit dan mampu memilih pemimpin yang independen.

Sementara itu, penulis buku “Tangan-Tangan AS”, Hendrajit, yang juga Direktur Global Future Institute, menyatakan bahwa independensi suatu bangsa di hadapan hegemoni AS bisa diraih melalui tiga komponen yaitu kuatnya independensi pemimpin bangsa, dukungan masyarakat terhadap pemimpin, dan ketahanan nasional. Iran pasca revolusi bisa dijadikan salah satu contoh bangsa yang memiliki ketiga komponen tersebut sehingga terus mampu bertahan di hadapan ambisi hegemoni AS, bahkan tetap meraih banyak kemajuan di berbagai bidang.

Note: artikel di copy-paste dari situs GFI, dengan sedikit editan.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Perdebatan Tentang HAM

© Dina Y. Sulaeman

Agenda Keamanan Dunia yang Semakin Rumit

Setelah Perang Dingin, dunia menyaksikan berbagai perang domestik (perang yang terjadi di dalam suaru negara, bukan perang antar negara), seperti di Yugoslavia, Rwanda, Sudan. Selain itu, serangan 9/11 yang diikuti dengan invasi AS ke Irak dan Afganistan, serta berbagai aksi pengeboman seperti di Spanyol (2004) dan London (2005), telah membuat semakin kompleksnya agenda keamanan dunia. Ada pertanyaan besar dalam menyikapi berbagai konflik di dunia, yaitu, apakah seharusnya komunitas internasional berpegang teguh pada prinsip ‘kedaulatan negara’ dan ‘non-intervensi’, sehingga terpaksa berdiam diri bila melihat ada pelanggaran HAM di sebuah negara? Atau, sebaliknya, apakah komunitas internasional harus ikut bertanggung jawab membantu populasi yang mengalami pelanggaran HAM?

Continue reading

3 Comments

Filed under Analisis

IMF Ditinjau dari Perspektif Liberal Institusional (Terminologi Sorensen)

©Dina Y. Sulaeman

Prolog

Alur berpikir makalah ini adalah menelusuri ideologi pendirian IMF dari sudut pandang liberal institusional (dalam terminologi yang diberikan Sorensen), lalu membandingkannya dengan praktik IMF dewasa ini yang ternyata berseberangan dengan ideologi liberal institusional. Urutan sub judul dalam makalah ini adalah sbb.

1. Prolog

2. Terminologi

3. Ideologi Liberal Institusional

4. Perjanjian Bretton Woods 1944

5. Kegagalan Bretton Woods

6. IMF dan Tesis Liberalis Konstitusionalis

7. Kesimpulan

Terminologi

Liberal institusional adalah salah satu varian dari perspektif liberalisme dalam HI. Menurut Timothy Dunne[1], liberal institusional identik dengan liberal fungsional, yang memandang bahwa institusi-institusi internasional menjalankan sejumlah fungsi terbatas, lalu lama-lama berkembang. Contoh kasusnya adalah proses terbentuknya Uni Eropa (yang semula hanya dimulai dari kerjasama perdagangan batu bara antar beberapa negara di Eropa).

Namun dalam makalah ini, penulis menggunakan terminologi liberal institusional yang ditulis oleh Jackobson dan Sorensen (2009:154) atau Marc A. Genest (2004:124). Sorensen menulis, “Kaum liberal institusional menyatakan bahwa institusi internasional menolong memajukan kerjasama di antara negara-negara.”  Sementara itu, Genest menulis, “Liberal institusional memfokuskan pada institusionalisasi kerjasama global.” Continue reading

1 Comment

Filed under Uncategorized

Apresiasi dari The Global Review

Beberapa hari yang lalu, kami mendapat kabar gembira: dua tulisan di blog ini dimuat ulang di situs keren yang khusus mengkaji masalah-masalah internasional “The Global Review”.

Silahkan klik di sini dan di situ.

Teman-teman masih ingat kan, kata Prof Banyu dan Yanyan PhD: kekuatan anak-anak HI itu (seharusnya) di bicara dan tulisan. Justru, tujuan mempelajari teori-teori HI adalah agar kita mampu menggunakan teori-teori itu dalam menganalisis fenomena internasional.

Jadi, ayo, maksimalkan masa-masa belajar di magister HI Unpad untuk meningkatkan kemampuan menulis kita. Blog ini tolong diisi ya.. Ga usah malu-malu.. Paper-paper yang udah ditulis, daripada numpuk di meja para dosen aja..kan sayang.. Lebih baik dimuat juga di blog ini, siapa tahu bermanfaat bagi orang lain.

Semangat!!!!

Leave a comment

Filed under blog

Jalur Pipa IPI Sebagai Katalis Ketegangan di Asia Selatan

©Dina Y. Sulaeman

Trend Global Pemicu Regionalisme Ekonomi

Berakhirnya Perang Dingin dan bergesernya polarisasi kekuatan dunia telah menimbulkan situasi baru dimana negara-negara menjalin kerjasama dalam ruang lingkup yang lebih terbatas dan tidak selalu menginduk kepada salah satu dari dua kekuatan dunia (AS atau Soviet) sebagaimana yang terjadi pada era Perang Dingin. Louise Fawcett (1995:22) menulis, pasca perang Dingin, negara-negara berkembang memandang bahwa  pilihan kebijakan yang rasional bagi mereka adalah melakukan kerjasama regional. Melalui kerjasama regional, negara-negara berkembang bisa memperkuat jaringan (link) dengan negara maju dan pada saat yang sama, mereka bisa menampilkan sikap independensi dan swasembada yang lebih besar.

Pendapat senada juga disampaikan Andrew Wyatt-Walter, sebagaimana dikutip Fawcett (1995:25), yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong negara-negara bekerjasama membentuk regionalisme ekonomi adalah adanya perubahan keseimbangan kekuatan ekonomi dunia pasca Perang Dingin. Trend global pada era pasca Perang Dingin adalah meluasnya liberalisasi perdagangan sehingga negara-negara berkembang harus berkompetisi untuk bisa masuk ke pasar negara-negara maju. Untuk menghadapi kondisi seperti ini, sebagian negara merasa perlu saling bekerja sama dan membentuk regionalisme ekonomi.

Jalur Pipa Gas Iran-Pakistan-India (IPI)

Pada tahun 1993, Pakistan dan Iran telah mengumumkan rencana untuk membangun pipa gas sejauh 2775 kilometer yang menghubungkan antara ladang gas di Pars selatan (sebuah provinsi di tenggara Iran) ke kota Multan dan Karachi di Pakistan. Selanjutnya, Iran menawarkan kepada India untuk  bergabung dalam proyek ini. Bila disepakati, pipa gas dari Multan akan diperpanjang hingga ke New Delhi. Pembicaraan kerjasama ketiga pihak berjalan berlarut-larut karena berbagai faktor, antara lain tidak adanya kesepakatan harga dan ketegangan politik. Bahkan, pada tahun 1999-2003, pembicaraan sempat terhenti karena ada tegangnya hubungan antara India dan Pakistan.

Namun, kebutuhan riil Pakistan dan India terhadap energi gas mendorong dilanjutkannya kembali pembahasan proyek ini. Kedua negara ini tidak punya banyak pilihan karena tingginya kebutuhan energi di dalam negeri sementara sumber daya alam mereka sangat terbatas. Tahun 2004-2005, perundingan Pakistan-India kembali dibuka. Selanjutnya, pada tahun 2008, India-Pakistan mengadakan perundingan bilateral untuk membicarakan dua proyek sekaligus, IPI dan TAPI (Turkmenistan-Afghanistan-Pakistan-India) yang didukung oleh AS. Saat itu, Menteri Energi India, Murli Deora, mengatakan bahwa kedua pipa gas itu sama pentingnya bagi India. Sementara itu, Pakistan lebih memilih untuk tetap melanjutkan proyek IPI.

Pada 24 Mei 2009, Presiden Iran dan Pakistan bertemu di Teheran, menandatangani kontrak kesepakatan senilai 7,5 milyar dollar dan akan segera memulai proyek pembangunan. Bila proyek ini selesai sesuai rencana, pada tahun 2011 gas Iran sudah bisa dialirkan ke Pakistan sebanyak 8 juta kubik meter per tahun.  Sebaliknya, posisi India masih maju-mundur. Tapi dalam statemen terakhirnya, menyusul penandatanganan kontrak Iran-Pakistan, Menteri Energi India kembali menegaskan komitmennya pada proposal IPI.

Aktor-Aktor yang Berperan dalam Jalur IPI

Iran

Iran adalah memiliki cadangan gas terbesar ke-2 di dunia dan produsen  minyak terbesar ke-2 di dunia. Namun, Iran sendiri sangat konsumtif terhadap energi sehingga tidak tercukupi oleh minyak hasil refinery dalam negeri. Akibatnya Iran masih tetap harus mengimpor 40% minyak dari luar. Kebutuhan energi dalam negeri yang terus meningkat membuat Iran harus terus melakukan eksplorasi migas. Artinya, Iran membutuhkan investor untuk proses eksplorasi dan pasar untuk penjualan produk migasnya.

Salah satu penyebab dari lamanya proses perundingan proyek Jalur IPI adalah terkait harga. Iran menawarkan agar harga direvisi tiap tiga atau empat tahun, namun Pakistan menginginkan agar dilakukan setiap 10 tahun. Namun, kedua pihak sepakat untuk menjadikan harga JCC (Japanese Crude Coctail) sebagai patokan. Perdebatan masalah harga ini tampaknya sudah bisa diselesaikan seiring dengan penandatanganan kontrak kerjasama antara Presiden Ahmadinejad dan PM Zardari di Teheran 24 Mei 2009.

Pakistan

Pakistan sangat berkepentingan dalam kesuksesan proyek Jalur IPI karena defisit pasokan energi dalam negeri. Gas yang disalurkan dari Iran akan mampu membangkitan 4600 megawatt listrik yang sangat dibutuhkan negara itu, jauh lebih dari cukup bagi pemenuhan kebutuhan energinya saat ini. Selain itu, Pakistan juga diperkirakan akan mendapatkan 200 juta dollar per tahun dari transit fee penyaluran gas dari Pakistan ke India.

India

Sikap India atas proyek Jalur IPI selama ini masih belum memperlihatkan kejelasan. Pada tahun 2007, India tidak lagi mengikuti pertemuan tripartit untuk membahas IPI. Padahal dalam perjanjian sebelumnya, disepakati September tahun 2009, proyek IPI akan dimulai. Bahkan India kemudian bergabung dengan ADB untuk membicarakan proyek TAPI. Pakistan juga diajak untuk bergabung dengan TAPI, namun Pakistan membutuhkan energi dalam waktu sesegera mungkin. Sementara, TAPI memiliki banyak penghalang untuk terealisasi. Lebih lagi, Pakistan melihat ada ketidakjelasan dalam volume gas dan harga yang diajukan oleh Turkmenistan (Sial, 2008).

Setelah Iran dan Pakistan menandatangani perjanjian Mei 2009, nampak gelagat China akan ikut serta dalam proyek IPI bila India memastikan tidak akan ikut. Menteri Energi India, Murli Deora segera mengeluarkan statemen, menyatakan komitmennya pada proyek IPI  dan bahwa India tidak akan menunduk di hadapan tekanan pihak luar karena keperluan energi negara adalah paling utama.  Tekanan pihak luar yang dimaksud Deora adalah tekanan dari AS.

China

China sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia sangat memerlukan keamanan energi. China juga berkepentingan dalam suksesnya proyek IPI karena China memerlukan jalur suplai gas yang tidak berada di bawah kendali AS. Bahkan, bila India mundur dari proyek IPI, China sangat mungkin akan dilibatkan oleh Iran dan Pakistan, sehingga jalur IPI akan berubah menjadi IPC (Iran-Pakistan-China). Skenarionya, gas akan dibawa ke China dengan kereta api dari Gwadar (Pakistan).

Munculnya kemungkinan China akan ikut serta, apalagi sebelumnya, China telah ‘mengalahkan’ India dalam perebutan gas di Myanmar , membuat India terdesak dan segera menyatakan masih tetap berkomitmen pada proyek IPI.  India beralasan bahwa pihak mereka belum menandatangani kontrak karena masih belum sepakat masalah harga dengan Pakistan.  Kalaupun China tidak jadi ikut serta dalam proyek IPI, namun yang jelas pada bulan Maret 2009, China telah mengikat kontrak dengan Iran senilai 3,2 milyar dollar untuk melakukan eksplorasi gas di ladang minyak Pars selatan, yang hasilnya akan dialirkan ke Pakistan (dan India, bila India jadi bergabung dalam IPI).

Rusia

Rusia sangat berkepentingan dalam suksesnya proyek IPI karena akan menggagalkan proyek TAPI. Bila TAPI diimplementasikan, Rusia akan kehilangan sumber gasnya, Turkmenistan. Selama ini Rusia membeli 70% gas Turkmenistan dengan harga sangat murah untuk kemudian dijual kembali ke Ukraina, Kaukasus, dan Eropa dengan harga mahal. Selain itu, Jalur IPI akan mengalihkan gas Iran ke Asia Timur, bukan ke Eropa, sehingga Rusia tidak akan kehilangan pasarnya di Eropa. Seandainya Jalur IPI gagal, kemungkinan Iran akan menjual gasnya ke Eropa melalui Jalur Nebucco yang akan membawa gas dari wilayah Kaspia ke Eropa. Nebucco juga menjadi ancaman bagi Rusia karena akan membuat ketergantungan Eropa kepada Rusia menjadi berkurang (Chaudhary, 2000). Untuk itu, Rusia sejak awal telah menyatakan perusahaannya, Gazprom, akan ikut serta dalam proyek IPI.

Amerika Serikat

AS adalah pihak yang sangat keras berusaha menghalang-halangi proyek IPI. Bahkan, AS diberitakan telah melewati batas kesopanan dalam melarang India menjalin kontrak dengan Iran (US dropping all pretence at politeness in its efforts to dissuade India from building the pipeline).   Sikap intrusif  AS disebabkan karena proyek ini akan mendatangkan keuntungan finansial dan strategis bagi Iran. Selain itu, AS berusaha mempertahankan dominasinya di kawasan dengan cara menghalang-halangi Pakistan dan India dari kerjasama dengan Iran, China, dan Rusia (Sial, 2008). Sebenarnya, pada era Clinton, Jalur IPI mendapatkan dukungan dari AS karena diharapkan akan bisa mendamaikan Pakistan dan India. Namun sejak era Bush, terjadi perubahan kebijakan.

Pada tahun 2006, Duta Besar AS, Steven Mann mengatakan, “Pemerintah AS mendukung berbagai pipa dari kawasan Kaspia, tapi tetap menentang mutlak jalur pipa yang melibatkan Iran.” Sebanyak 29 pejabat AS secara kontinyu mengingatkan India dan Pakistan tentang UU AS yang akan memberi sanksi kepada perusahaan manapun yang menginvestasikan lebih dari 20 juta dollar untuk industri gas dan minyak Iran (Chaudhary, 2000).

Tahun 2007, Menteri Energi AS, Sam Bodman mengunjungi India dan mengingatkan bahwa India memerlukan AS dalam proyek nuklirnya. Namun pada saat yang sama, Bodman menjadikan proyek nuklir Iran sebagai alasan mengapa AS menentang Jalur IPI. “We believe that Iran is seeking to develop nuclear weapons and anything that will support that endeavor (such as the IPI) is something that we oppose,” kata Bodman.

Penandatanganan kontrak antara ketiga pihak (Iran-Pakistan-India) sebenarnya telah dijadwalkan akan dilakukan beberapa pekan setelah kunjungan Bodman, tetapi akhirnya batal.

Untuk membujuk India dan Pakistan, AS menawarkan proposal TAPI yang akan menyuplai gas dari Turkmenistan ke Pakistan dan India. Bila jalur  TAPI berhasil dibangun, AS akan meraih dua hasil sekaligus, yaitu menghalangi Iran bekerjasama dengan Pakistan dan India, serta menghalangi Rusia mengambil keuntungan dari Turkmenistan.

Namun, proposal TAPI ternyata tidak disambut dengan baik oleh Pakistan dan India karena berbagai faktor, antara lain karena perkiraan biaya proyek yang meningkat dua kali lipat sejak tahun 2002. Selain itu, karena jalur pipa akan melewati Afghanistan, resiko yang dihadapi terlalu besar mengingat situasi negara itu masih jauh dari kestabilan. Akhirnya, Menteri Energi India menyimpulkan, “TAPI masih dalam tahap yang primitif. Kami bahkan tidak yakin apakah ada gas di sana atau tidak, dan berapa banyak gas yang ada.”

Sementara itu bagi Pakistan, Jalur IPI lebih menjanjikan karena selain bisa diimplementasikan dalam waktu dekat, juga perhitungan keuntungan yang akan didapatkannya sudah sangat jelas. Bahkan, Penasehat Perdana Menteri Pakistan. Asim Hussain menyatakan, “Penundaan pelaksanaan IPI  akan menyebabkan kerugian 5 juta dollar per hari bagi Pakistan.” Saat ini Pakistan menghadapi kekurangan suplai listrik sebesar 3000 megawatt per tahunnya.

Karena itu, Pakistan tetap menandatangani kontrak dengan Iran meskipun mendapatkan tekanan dari AS. Asim Husein mengakui, “Dua negara kuat, satunya sebuah kekuatan Barat, dan satu lagi sebuah negara Islam penting, telah menekan Pakistan untuk membatalkan proyek ini.” Husein tidak menyebutkan nama dua negara yang dimaksud. Namun dia menegaskan, pemerintah Pakistan tidak akan menyerah pada tekanan asing dan akan melanjutkan proyek IPI  atas dasar kepentingan nasional bersama.

Ketergantungan Ekonomi sebagai Katalis Konflik Regional

Jalur IPI memperlihatkan adanya ketergantungan antara tiga pihak, Iran, Pakistan, India. Iran sebagai negara pemilik cadangan gas terbesar kedua di dunia akan mendapatkan pasar bagi produksi gasnya, sementara Pakistan dan India mendapatkan suplai gas yang sangat mereka butuhkan dengan harga yang lebih bersaing. Ketergantungan ekonomi akan meningkatkan kebutuhan untuk melakukan kerjasama (Hurrel, 1995: 61). Dalam situasi ketergantungan yang ada, negara-negara akan menghadapi dilema koordinasi dan kolaborasi. Hal ini membuat pemerintah-pemerintahan merasa membutuhkan institusi internasional yang bisa membuat mereka mencapai kepentingan mereka melalui aksi kolektif terbatas (Keohane dalam Hurrel, 1995:61).

Di antara ketiga negara, sesungguhnya telah lama tercipta konflik dan ketegangan.  Pakistan dan Iran berbatasan wilayah darat sementara India berbatasan darat dengan Pakistan. Pakistan dan Iran, meskipun sama-sama berpenduduk mayoritas muslim, namun berbeda mazhab. Mayoritas penduduk Iran adalah Syiah, sedangkan mayoritas penduduk Pakistan adalah Sunni. Keduanya selama ini terlibat konflik terkait ketegangan Sunni-Syiah yang dipicu oleh radikalisme kelompok Sunni di perbatasan Zahedan. Kelompok-kelompok garis keras Pakistan, antara lain Jundullah, secara sporadik melakukan pengeboman dan pembunuhan terhadap orang-orang Iran. Meskipun kelompok itu tidak mengatasnamakan pemerintah Pakistan, namun mau tak mau, hal ini menimbulkan ketegangan antara dua negara.

Sementara itu, Pakistan dan India memiliki latar belakang budaya yang jauh berbeda, karena India mayoritas berpenduduk agama Hindu sementara Pakistan mayoritas muslim. Selama sekitar 60 tahun terakhir, kedua negara selalu terlibat ketegangan politik dan bahkan pernah terjadi tiga kali perang. Salah satu penyebab utama ketegangan kedua negara adalah pertikaian masalah batas wilayah, yaitu perebutan wilayah Kashmir. Ketegangan politik ini membuat Pakistan selama ini selalu menghindari kerjasama ekonomi dengan India. Bila akhirnya kedua negara bergabung dalam Jalur IPI, hal ini akan menjadi sebuah kerjasama bersejarah.

Dari uraian singkat di atas, sekilas tampak  bahwa kohesivitas di antara ketiganya sangat rapuh. Namun, menurut teori intitusionalis, kohesi regional akan muncul bukan dari terbentuknya sebuah struktur federal di antara ketiga negara tersebut, melainkan dari kerjasama-kerjasama yang terbentuk di antara negara, yang  semakin lama akan membentuk jaringan yang rapat dan semakin lama akan semakin membesar (Hurrel, 1995: 64).

Louise Fawcett (1995:27) menyebutkan salah satu faktor yang mendorong terjalinnya kerjasama regional, yaitu demokratisasi. Menurutnya, demokratisasi di negara-negara telah membantu terciptanya lingkungan yang lebih ramah bagi kondisi saling ketergantungan, baik di tingkat regional maupun global. Sebagaimana diketahui, baik Iran, India, ataupun Pakistan adalah tiga negara yang menganut asas demokrasi. Meskipun memang demokrasi di Iran memiliki perbedaan, yaitu semacam “demokrasi terpimpin”, dimana ada kekuasaan yang lebih tinggi dari presiden, yang mengawasi jalannya demokrasi, yaitu Wali Faqih (ulama) .

Selain itu, lagi-lagi, faktor ekonomi akan menjadi driving force dalam  peningkatan kohesivitas. Sebagaimana dikatakan Hurrel (1995:62), norma, aturan, dan institusi akan terbentuk karena ketiganya akan membantu negara-negara dalam menghadapi problem yang sama (dalam kasus IPI: problem ekonomi) dan dalam peningkatan kemakmuran.

Besarnya taruhan ekonomi yang terlibat (seperti disebutkan Asim Husaini, penundaan satu hari saja akan membawa kerugian 5 juta dollar ) sejauh ini tampaknya bisa menimbulkan keberanian Pakistan dan India untuk berkata ‘tidak’ kepada AS. Pakistan tetap menandatangani kontrak meskipun ada tekanan dari AS. Sementara itu, India meskipun belum menandatangani kontrak, tapi telah berani mengeluarkan pernyataan “tidak akan mengalah pada tekanan eksternal manapun”. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ketergantungan ekonomi merupakan katalis bagi konflik regional.

Dalam  pandangan Chaudary (2000),  terciptanya kerjasama ekonomi antara India dan Pakistan akan mendorong relasi yang yang lebih stabil di antara kedua negara yang selama ini sering berada dalam kondisi konflik. Apabila kerjasama regional antara India-Pakistan bisa terbentuk seiring dengan kolaborasi India-Iran dan Iran-Pakistan, dapat berpotensi untuk mempengaruhi antarnegara-negara di kawasan dalam isu-isu kunci, seperti terorisme Taliban, sengketa Kashmir, dan secara umum, isu-isu yang terkait dengan keamanan negara-negara di kawasan. Dampak positif proyek IPI dari sisi keamanan juga telah disadari oleh ketiga pihak, sehingga mereka menamakan proyek ini “Peace Pipeline”.

***

Note: catatan kaki dan daftar pustaka sengaja tdk ditampilkan di sini.

*

Leave a comment

Filed under Amerika Serikat, Asia Selatan

Posisi Moral dalam Teori Realisme

© Dina Y. Sulaeman

Political action must be based on a consideration of morality and power
… it is as fatal in politics to ignore power as it is to ignore morality.
(
EH Carr, 20 Years’ Crisis, 1939:97)

Menurut Sorensen (2009:88), asumsi dasar realisme adalah adanya pandangan pesimisme atas sifat manusia. Manusia dicirikan sebagai makhluk yang cemas akan keselamatan dirinya dalam hubungan persaingannya dengan yang lain. Mereka selalu ingin meraih keuntungan dan berada dalam posisi pengendali. Karena itu mereka berusaha menjadi yang terkuat dalam berhubungan dengan pihak lain. Sifat dasar inilah yang kemudian terefleksikan dalam hubungan antar-negara.
Setelah menelaah beberapa jurnal seputar realisme, penulis menyimpulkan bahwa realisme memiliki banyak wajah. Dalam tulisan bagian pertama ini, penulis akan membatasi topik dengan mengeksplorasi nilai moral dan realisme, terutama  dalam kacamata Morgenthau. Turner dan Marzur menyatakan, “Morgenthau adalah peletak disiplin HI modern dan bukunya Politics Among Nations selama beberapa dekade menjadi buku teks dominan dalam bidang HI.”
Teori realisme klasik sering diidentikkan dengan struggle for power, egoisme negara, hak negara untuk melakukan apapun demi kepentingan nasional.

Morgenthau menulis, “Politik internasional seperti semua politik adalah perjuangan demi kekuasaan. Apapun tujuan akhir politik internasional, kekuasaan merupakan tujuan yang selalu didahulukan.” Secara sekilas, seolah realis menjustifikasi manusia/negara untuk melakukan apapun demi kekuasaan, kalau perlu dengan perang. Aspek moral seolah tidak dihiraukan oleh mazhab realis.  Seperti ditulis Gorener  “Realisme politik sering dianggap sebagai penghalang terbesar terhadap perhatian sistematis atas peran etika dalam hubungan internasional. Ajaran realis telah dikonstruksi dan direkonstruksi selama bertahun-tahun untuk menampilkan pandangan dunia (worldview) yang amoral. Pandangan seperti tertanam kuat dalam pemikiran para penstudi HI sehingga usaha apapun untuk melihat politik dunia dari sudut moral dianggap sebagai pelanggaran terhadap pendekatan realisme.”

Masih menurut Gorener,
“Dominasi tradisi realis pada paruh kedua abad ke-20 menjadi alat dalam meminggirkan peran etika dalam studi HI. Realisme politik menjadi terkemuka setelah PD II terutama karena para pendukungnya mampu mengkapitalisasi ketidakpuasan atas aspirasi idealis yang tidak berhasil memprediksi-apalagi mencegah-tragedi kemanusiaan terburuk pada abad ke-20. Penggambaran realis  bahwa politik dunia itu konfliktual, bahkan brutal, didominasi oleh egoisme dan aktor-aktor yang haus kekuasaan, sangat masuk akal bagi para korban kebrutalan. Karena itulah realisme diterima secara luas dalam dunia akademik dan lingkaran pengambilan keputusan.”

Namun, benarkah realis selalu identik dengan perang? Benarkah realisme menolak moral (sehingga dianggap sebagai antitesis liberalisme yang mengedepankan aspek moralitas dan idealisme)?
Dalam buku Politics Among Nations Morgenthau yang konon dianggap ‘buku suci HI’, ternyata moralitas juga menjadi salah satu pokok bahasan. Morgenthau menulis:

Etika, moral, dan hukum turun tangan agar dapat melindungi masyarakat dari perpecahan, dan orang-per-orangan dari perbudakan dan permusnahan. Jika suatu masyarakat atau anggotanya tak mempu melindungi diri sendiri demgan kekuatan sendiri dari dorongan kekuasaan orang lain,kalau, dengan kata lain, mekanik kekuasaan politik ternyata diperlukan, maka sistem normatif berusaha melengkapi kekuasaan politik dengan berbagai aturan dan perilakunya sendiri.
Dalam sebuah artikel berjudul “Six Prinsiples of  Political Realisme” yang merangkum isi buku Morgenthau  dituliskan bahwa sesungguhnya realisme peduli pada signifikansi moral dalam aksi politik. Realisme juga menyadari ketegangan yang ineluctable antara moral dan syarat-syarat dari keberhasilan aksi politik. Realisme tidak ingin melenyapkan ketegangan ini karena hal ini akan menimbulkan kebingungan dalam memahami keduanya (moral dan isu politik). Karena itu, realisme mempertahankan tesis bahwa prinsip moral universal tidak bisa diaplikasikan dalam tindakan negara (actions of states) dalam bentuk formulasi abstrak, tetapi prinsip moral itu harus disaring dalam situasi yang konkrit pada waktu dan tempat tertentu.

Dengan kata lain, seseorang bisa saja berkata, “Keadilan harus ditegakkan, biarpun bumi ini hancur karenanya.” Tetapi, sebuah negara tidak bisa mengatakan hal itu karena negara bertanggung jawab atas warga negaranya (tidak mungkin negara membiarkan negaranya hancur). Baik individual dan negara harus menilai aksi politik dengan prinsip moral universal, misalnya kemerdekaan (liberty). Individual memiliki hak moral untukmengorbankan dirinya dalam membela prinsip moral; tapi negara tidak memiliki hak untuk melakukan hal yang sama. Negara harus melakukan politik moral yang disertai dengan kebijaksanaan. Negara harus memilikirkan konsekuensi politik dari aksi-aksi moral. Realisme menganggap kebijaksanaan (prudence) atau pertimbangan atas konsekuensi dari alternatif tindakan-tindakan politik sebagai nilai tertinggi dalam politik.

Hal ini juga dikemukakan oleh Sorensen (2009:100), “Morgenthau mengikuti tradisi Thucydides dan Machiavelli: hanya ada satu moralitas bagi wilayah pribadi dan moralitas yang sangat berbeda bagi wilayah publik.”

Gorener dengan mengutip Morgenthau, menyatakan bahwa pilar utama keseluruhan teori realis dibangun atas asumsi bahwa perilaku negara-negara adalah rasional dan universal. Karena negara dan pemimpin negara berpikir dan bertindak demi mengejar kepentingan nasional, yang didefisinikan sebagai ‘power’, maka—menurut realis—adalah mungkin untuk merekonstrusi proses pengambilan keputusan bahkan di dalam kondisi yang berbeda-beda sekalipun.

Kenyataannya, negara-negara seringkali berperilaku di luar tesis kaum realis. Hal ini tampak pada kritik Morgenthau sendiri yang ditulisnya dalam In Defense of National Interest (1951).  Menurut Mearsheimer, kebijakan luar negeri AS adalah utopia dan bertentangan dengan konsepsi politik dari kebijakan luar negeri sebagaimana yang digariskan oleh pendekatan realis. Dalam perang Vietnam (akkhir 1950-an), Morgenthau terang-terangan mengkritik perang tersebut. Menurut pemimpin AS, Perang Vietnam dilancarkan demi mencegah meluasnya komunisme di Asia Tenggara. Jika Vietnam jatuh ke tangan komunis, maka komunisme akan menyebar ke negara lain, demikian menurut Gedung Putih.

Sebaliknya, Morgenthau memandang bahwa negara-negara akan selalu berusaha menyeimbangkan kekuasaan. Negara-negara tetangga Vietnam tak akan sedemikian mudah diubah menjadi negara komunis hanya gara-gara Vietnam dipimpin oleh penguasa komunis.  Morgenthau juga mengkritik aksi intervensi yang dilakukan AS terhadap Kuba.

Intinya, pilar utama realis yang menyatakan bahwa negara adalah ‘rasional’ (selalu melakukan pilihan rasional demi meraih kepentingan nasionalnya) runtuh oleh kenyataan bahwa negara-negara justru sering melakukan pilihan yang tidak rasional.

Dalam karya Morgenthau selanjutnya, Politics In 20th Century¸ dia seolah telah menggeser pandangannya tentang politik internasional. Sebagaimana dikutip Gorener, Morgenthau dalam buku tersebut membagi dua ‘kepentingan nasional’ (yang semula hanya didefinisikan sebagai ‘power’):
1. Kepentingan nasional dalam bentuk hard core, yang meliputi  fisik, politik, dan identitas kultural.
2. kepentingan nasional dalam bentuk variabel, yaitu tujuan kebijakan negara (goals of the state policy) yang sesuai dengan konteks budaya sebuah negara, tradisi politik, standar moral, serta personality para pemimpin negara.  Tujuan (goals) ini subjektif, tidak fix, dan tidak selalu rasional, karenanya tidak bisa diprediksikan.  Sebagian besar pembuatan kebijakan negara berkaitan dengan variabel subjektif ini. Karena itulah Morgenthau menulis, “Sumbangan yang bisa dilakukan oleh analisis saintifik dalam bidang ini, sebagaimana juga dalam semua bidang formasi kebijakan, adalah terbatas.”
Karena itu, Gorener menyimpulkan bahwa sesungguhnya kaum realis tidak pernah menentang pilihan moral, melainkan hanya menantang perilaku kebijakan politik luar negeri (foreign policy behaviour) yang dipimpin oleh aspirasi utopis dan slogan sentimental. Realis menyatakan bahwa kebijakan luar negeri yang dipandu oleh keyakinan superioritas moral seseorang (suatu rezim) dan spirit perang Salib (crusading spirit) akan membawa konsekuensi yang menghancurkan. Dengan kata lain, jika prinsip moral menguasai kebijakan luar negeri, akan menghasilkan kerigidan, simplifikasi analisis, dan perilaku politik yang fanatis.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa realis menghapuskan pertimbangan moral dari alam kepentingan nasional. Inilah yang diungkapkan Morgenthau saat memrotes Perang Vietnam. Dia mengkritik perang itu justru bukan dari sisi kalkulasi sukses-gagal, melainkan dari sisi moral. Dia  menyatakan bahwa AS akan mengalami kerusakan moral yang tidak terhitung. Kerusakan moral itu terjadi karena bangsa AS tidak bisa melihat keuntungan politik yang bisa menjustifikasi pembunuhan dalam perang itu. Kata Morgenthau, “Risiko yang kita hadapi saat ini bukanlah politik atau militer. Ini adalah resiko bagi diri kita sendiri, pada identitas kita, pada keberadaan kita sebagai bangsa yang besar.”

Di bukunya Politics of 20th Century, Morgenthau menyatakan ketidakpuasannya pada sebagian kritikus yang telah mengambil beberapa kata keluar dari konteksnya untuk membuktikan bahwa realisme dalam HI adalah tidak berprinsip dan mengabaikan moral. Menurut Morgenthau, realis sesungguhnya tidak menolak kemungkinan untuk menilai perilaku negara dengan kriteria moral. “Sesungguhnya, tindakan negara adalah subjek dari norma moral universal dan saya telah berhati-hati untuk membedakan posisi saya dari Hobbes.”
Dalam berbagai tulisan atau buku disebutkan bahwa realisme dilandasi oleh pemikiran Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes. Hobbes menyatakan bahwa “keadaan alami merupakan lingkungan manusia yang sangat tidak bersahabat, di mana terdapat ‘keadaan perang’ di antara sesama manusia; dalam kondisi alaminya, setiap pria, wanita, dan anak berbahaya bagi siapapun, kehidupan terus berada dalam bahaya, dan tidak seorang pun yakin tentang keamanan dan kelangsungan hidupnya untuk jangka waktu tak terbatas.”

Namun demikian, sebagaimana ditulis oleh Gallarotti, buku Leviathan yang disebut-sebut sebagai buku rujukan kaum realis justru juga memasukkan konsep moral.  Gallarotti menulis,
“Buku Leviathan karya Hobbes tidak secara khusus berbicara tentang anarkhi tetapi lebih banyak membahas tentang persemakmuran (commonwealth). Anarkhi adalah situasi tidak menyenangkan yang harus dilalui untuk sampai pada keberadaan negara yang beradab (civilized state of existence). Leviathan mengemukakan isu tentang pendirian commonwealth, sebuah manisfestasi dari masyarakat sipil yang damai. Lalu setelah berdiskusi tentang anarkhi di Bab 13-15, Hobbes melanjutkan dengan berbicara tentang commonwealth dalam konteks konstruktivisme dan neoliberalisme: kooperasi, hukum, hak, moral, dan bahkan agama.”

Agaknya, benar juga yang dikatakan Gorener, “Memang benar sebagian realis bersikap skpetik terhadap moral, namun mereka jelas merupakan kelompok minoritas dalam mazhab realis. …Bagi kaum realis, pertanyaan moral tidaklah menjadi pemisah antara pilihan dan tindakan (choice and action). Pilihan moral (moral choice) adalah inherent dalam semua hubungan manusia, termasuk dalam hubungan international.”

Note: catatan kaki dan dafar pustaka sengaja dihilangkan dari posting ini.

1 Comment

Filed under Theory&Meta-theory